Sabtu, 18 November 2017

KASUS FRAUD SEKTOR PERBANKAN (BANK CENTURY)



KASUS FRAUD SEKTOR PERBANKAN
A.    Peristiwa
Kasus Bank Century mulai mencuat pada akhir tahun 2008, kasus ini menjadi perbincangan hangat masyarakat dan penyidik.Kasus ini mulai menjadi perbincangan publik setelah Bank Century mengalami kesulitan likuidasi, kalah kliring, melakukan penipuan melalui manajemen bank, hingga ditetapkan sebagai bank gagal.Kasus Bank Centurysemakin mencuat ketika kabar bahwa adanya suntikan dana talangan atau bail out dari negara yang mencapai triliunan rupiah. Hal ini tentunya membuat rakyat geram dan meminta kasus ini diusut hingga tuntas karena telah merugikan negara dengan jumlah yang fantastis yaitu 6,7 triliun rupiah.Jatuhnya Bank Century dan dikategorikan sebagai bank gagal dimulai akibat dari penyalahgunaan dana nasabah oleh pemilik Bank Century berserta keluarganya.Bank Century pun melakukan masalah internal dengan adanya penipuan oleh manajemen bank terhadap klien mereka. Bank Century melakukan penyimpangan dana untuk peminjam sebesar 2,8 milyar dolar Amerika dan melakukan penjualan produk-produk investasi fiktif Antaboga Delta Securities Indonesia. Hal tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi para nasabah dan para nasabah pun tidak dapat mencairkan dananya.
Pada akhir tahun 2008, ditemukan berbagai surat berharga valuta asing yang telah jatuh tempo dan gagal bayar yang angkanya mencapai 56 juta dolar Amerika. Selain itu, Bank Century mengalami kesulitan likuidasi dan pada tanggal 13 November 2008 bank ini mengalami kegagalan kriling akibat kegagalan menyediakan dana (prefund).Akhirnya, tanggal 20 November, Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan dapat memberikan dampak sistemik pada perbankan Indonesia.Atas ususlan BI, maka dilakukan penyelamatan Bank Century melalui pihak LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).Kemudian KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS melakukan rapat.Berdasarkan keputusan yang ditetapkan KKSK dalam surat No.04.KKSK.03/2008, Bank Century resmi diambil alih oleh LPS pada 21 November 2008. LPS kemudian memutuskan memberikan talangan dana sebesar 2,78 triliun rupiah untuk mendongkrak CAR agar mencapai angka 10 persen guna memenuhi tingkat kesehatan sebuah bank.Dampak jatuhnya Bank Century ini berujung pada pencekalan  salah satu pemegang saham, Robert Tantular, beserta tujuh orang pengurus lain Bank Century. Dua pemilik Bank Century, yaitu Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi pun tiba-tiba menghilang.
Talangan dana yang dikucurkan oleh LPS ke Bank Century tidak lantas menyelesaikan kasus ini, tanggal 9 Desember 2008 Bank Century mulai mendapatkan berbagai tuntutan dari ribuan investor Antaboga terkait penggelapan dana investasi sebesar 1,38 triliun rupiah. Semua dana para nasabah dan investor ini di indikasikan mengalir ke kantung Robert Tantular selaku pemilik Bank Century. Pada tanggal 3 Februari 2009, LPS kembali menyuntikan dana ke Bank Century sebesar 1,5 triliun rupiah yang bertujuan untuk memulihkan kesehatan Bank Century. Talangan dana yang terus menerus disuntikan ke Bank Century dinilai terlalu besar dan menuai gugatan dari parlemen, terlebih lagi LPS kembali menyuntikan dana sebesar 630 miliar rupiah pada tanggal 21 Juli 2009.Sejak saat itu kasus Bank Century semakin mendapat sorotan tajam dari publik.Kasus Bank Century juga begitu menyita perhatian terkait adanya dugaan korupsi serta suap dalam usaha menyelamatkan Bank Century. Dugaan itu pun akhirnya memunculkan beberapa nama yang disebut-sebut terlibat dan turut menikmati dana suap Bank Century. 
Beberapa kalangan menilai pemberian talangan dana pada Bank Century merupakan keputusan yang salah dan terkesan di buat-buat. Karena status Bank Century di perbankan Indonesia terbilang bank yang sangat kecil dan tercatat hanya sekitar 65.000 nama pemilik rekening bank ini. Selain itu, dana pihak ketiga di bank yang dimiliki oleh Robert Tantular ini hanya 0,68% dari total dana di perbankan, aset bank century hanya 0,42% dari total kredit perbankan, assetbank century hanya 0,72% dari aset perbankan dan pangsa kreditnya hanya 0,42% daritotal kredit perbankan. Bank-bank pada Novomber 2008 memiliki rata–rata diatas 12%.Hanya ada tiga bank kecil yang memilik CAR di bawah 8% (batas minimum untukbailout PBI no.10 / 26 / PBI / 2008 pada tanggal 30 oktober 2008).
Hasil Audit Investigatif BPK yang diserahkan kepada DPR RI tertanggal 20 November 2009 memaparkan 8 temuan penting yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi, pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Indikasi korupsi terkait dengan kasus ini terutama terlihat dari terjadinya pelanggaranaturan dan penyalahgunaan wewenang. Berikut beberapa catatan indikasi korupsi darilaporan BPK:

a.        Terkait Merger 3 bank
Sebelum penggabungan 3 Bank, Bank Pikko dan Bank CIC memiliki permasalahanterkait surat-surat berharga (SSB) dan Capital adequacy ratio (CAR).Merger ini diduga untuk menghindari penutupan Bank Pikko dan Bank CIC yang kondisinya tidak sehat. Sejak penggabungan, status Bank Century selalu bermasalah. Terdapat beberapa Indikasi Pelanggaran yang terjadi pada saat proses merger ini. BIdiduga memberikan kelonggaran terhadap persyaratanmerger yaitu dengan:
1.      Aset SSB yang semula dinyatakan macet oleh BI kemudian dianggap lancar untuk memenuhi performa CAR.
2.      Tetap mempertahankan pemegang saham pengendali (PSP) yang tidak lulus fit and proper test.
3.      Komisaris dan Direksi Bank ditunjuk tanpa fit and proper test.
4.      Audit KAP atas laporan keuangan Bank Pikko dan Bank CIC dinyatakan disclaimer.

Temuan BPK terkait penggabungan 3 bank ini adalah sebagai berikut:
1.      Akuisi Bank Danpac dan Bank Picco tidak sesuai dengan ketentuan BI.
2.      Surat izin Akuisisi Chinkara atas bank Picco dan Bank Danpac tetap dilakukan meskipun terdapat indikasi praktek perbankan yang tidak sehat dan perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara.
3.      BI menghindari penutupan Bank CIC dengan memasukan Bank tersebut di dalam skema merger.
4.      Tidak membatalkan persetujuan akuisisi meskipun tahun 2001-2003 hasilpemeriksaan BI pada ke-3 Bank menemukan indikasi pelanggaran yangsignifikan.
5.      Adanya perlakuan Surat-surat Berharga (SSB) yang semula macet menjadi lancardengan rekomendasi KEP (komite evaluasi perbankan).

b.        Terkait Penyaluran fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP), Pengambilan Keputusan KSSK dan Penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS)

Sejak bulan Juli 2008, Bank Century (BC) telah mengalami kesulitan likuiditas dan bergantung pada pinjaman uang antar-bank (PUAB). Karena PUAB sulit diperoleh, hingga tanggal 27 Oktober 2008, BC telah melanggar pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) minimal 5% dari dana pihak ketiga (DPK). Posisi CAR Bank Century saat mengajukan FPJP (posisi 30 September 2008) sebesarpositif 2,35%. Pada saat tersebut berlaku ketentuan BI (PBI) No. 10/26/PBI/2008 bahwafasilitas FPJP diberikan kepada bank yang memiliki CAR minimal 8%. Dengan demikian Bank Century sebenarnya tidak memenuhi syarat menerima FPJP. Namun pada tanggal 14 November 2008 BI mengubah PBI tentang persyaratan pemberian FPJP dari semula minimal CAR 8% menjadi CAR positif. Hal ini diduga untuk memuluskan Bank Century menggunakan fasilitas FPJP.
Berdasarkan posisi CAR Bank Century per-30 September (positif 2,35%) BI menyatakanBank Century memenuhi syarat. Padahal posisi CAR Bank Century per-31 Oktober 2008justru negatif (-3,53%) dan tidak memenuhi persyaratan bahkan terhadap PBI yang telah dirubah per-14 November 2008.

B.     Deskripsi Fraud
Berikut ini adalah indikasi penyimpangan penggunaan FPJP dan PMS:
ü Penarikan dana oleh pihak terkait setelah penetapan Bank Century sebagai Bank di dalam pengawasan khusus oleh BI. Padahal BI meminta kepada Bank Century untuk tidak mengijinkan penarikan dana atas rekening simpanan milik pihak yang terkait dengan Bank Century atau pihak lain yang ditetapkan oleh BI. Nilai uang yang ditarik sebesar Rp 454,898 miliar, USD 2, 22 juta, AUD 164,81 ribu dan SGD 41,18 ribu.
ü Pada tanggal 14 November 2008, ada permintaan dari RT yang meminta kepada Kabag Operasional Bank Century Cabang Surabaya-Kertajaya untuk memindahkan deposito milik salah satu nasabah senilai USD 91 juta ke Kantor Pusat Operasional (KPO) Senayan, Jakarta. Setelah berpindah, DT dan RT mencairkan dana milik nasabah tersebut senilai USD 18 juta pada tanggal 15 November 2008. Uang ini kemudian digunakan oleh DT untuk menutupi kekurangan bank notes yang selama ini telah digunakan untuk keperluan pribadi DT. Deposito milik nasabah tersebut kemudian diganti oleh Bank Century dengan dana yang berasal dari FPJP. Sehingga dalam hal ini adanya dugaan penggelapan kas valas.
ü Laporan keuangan Bank Century yang berada di bawah pengawasan LPS menunjukkan selama 6 bulan di tahun 2009 terjadi penurunan kewajiban terhadap nasabah dalam bentuk simpanan, dari Rp. 10,82 triliun pada Desember 2008 menjadi Rp. 5,18 triliun pada Juni 2009. Diduga selama 6 bulan tersebut terjadipenarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Pertanyaan penting yang harus dilontarkan adalah, siapa saja yang menerima dana sebesar Rp. 5,64 triliun itu?
Sementara untuk indikasi korupsi pada KSSK diantaranya:
ü Pengambilan keputusan sebelum mendapatkan pengesahan/persetujuan DPR terkait dasar hukum Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 4 tahun 2008 Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).
ü Keputusan penyaluran PMS yang terkesan dipaksakan, jika didasarkan pada argumentasi BI yang hanya dibangun atas analisis kualitatif yang lemah terkait dampak psikologi pasar yang berantai. Hal ini juga tidak konsisten dengan dasar MOU yang digunakan di dalam penentuan kondisi ‘berdampak sistemik’ yang seharusnya didukung oleh analisis kuantitatif.
Unsur penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran aturan yang terjadi pada pihak BI diantaranya:
·         Keterlambatan penetapan Bank Century sebagai Bank di bawah pengawasan khusus BI, ditunjukan dengan nilai CAR Bank Century yang merosot pada 31 Oktober 2005 (-132%).
·         Dugaan Rekayasa perubahan PBI No. 10/26/PBI/2008 diganti menjadi PBI No.10/30/PBI/2008.
·         Persetujuan pemberian FPJP yang bertentangan dengan peraturan BI, terhadap posisi CAR Bank Century per-31 Oktober 2008 justru negatif (-3,53%) dan tidak memenuhi persyaratan bahkan terhadap PBI yang baru.
·         Dugaan menyembunyikan informasi yang sebenarnya terkait latar belakang Bank Century pada saat usulan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

C.    Modus
Modus yang dilakukan kasus Bank Century ini adalah adanya indikasi korupsi dikarenakan Bank Century melakukan merger 3 bank yang awalnya memang bersifat tidak sehat dan juga status Bank Century selalu bermasalah. Dan pula Bank Century terkait penyaluran fasilititas pinjaman jangka pendek, pengambilan keputusan KSSK dan penyaluran dan penyaluran penyertaan modal sementara.

D.    Tindakan Hukum
Sejauh ini KPK telah menjadikan dua orang tersangka terhadap kasus ini, yakni mantan Deputi Gubernur BI Siti Chailimah Fadjriah yang sprindiknya belum terbit dengan alasan bahwa siti chailimah fadjriah sedang sakit, dan mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya terkait pemberian FPJP(fasilitas pendanaan jangka pendek). Keduanya dijerat dengan pasal penyalahgunaan kewenangan pada pasal 3 Undang-Undang (UU) No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti yang diubah pada UU No.20/2001 dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.
Selain dua tersangka itu sudah ada nama robert tantular yang telah berada dalam jeruji besi. Robert Tantular dijatuhi hukuman pidana 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider kurungan pengganti 8 bulan penjara. Dalam salinan dokumen putusan sidang kasasi yang ada, Robert terbukti secara meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan dijerat pasal 65 ayat 2 KUHP. Awalnya, Robert hanya diberikan sanksi 4 tahun saja di pengadilan negri, sedangkan di pengadilan tinggi Robert divonis 5 tahun, dan saat kasasi diberikan putusan 9 tahun. Pertimbangan majelis hakim untuk menambah masa hukuman penjara dari 4 tahun menjadi 9 tahun, karena Robert Tantular telah melakukan gabungan praktek perbankan yang tidak sehat. Akibat tindakannya itu ialah telah menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat.

E.     Usulan Pencegahan
Dalam menghadapi kasus bank Century perlunya kerjasama dengan baik antara pemerintah, DPR-RI dan Bank Indonesia. Pemerintah harus bertanggung jawab kepada nasabah Bank Century agar uangnya bisa dicairkan.
Kemudian siapa pun pihak pihak yang terbukti bersalah dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus Bank Century, harus segera diproses, diadili, dan dijatuhi hukuman yang sepantasnya. Jika pihak tersebut masih aktif bekerja di pemerintahan, sebaiknya segera dinon-aktifkan.Dan BPK sebagai lembaga yang independen dalam tugasnya harus didukung, khususnya dalam menelusuri aliran dana PSPJ dan PMS di Bank Century, dan mengumumkan kepada publik pihak-pihak yang terbukti menerima aliran dana tersebut, lalu audit infestasi BPK harus dilakukan dengan tuntas dan dibantu oleh Polri, kejaksaan, Pemerintah Bank Indonesia.KPK dan PPATK harus didorong untuk menuntaskan kasus ini. Keterlibatan polisi di dalam kasus ini harus ditolak karena mengandung konflik kepentingan. Keterlibatannya sudah sepantasnya ditolak, mengingat kasus BLBI yang nyatanya kandas di tengah jalan ketika ada di tangan polisi, jaksa, dan hakim. Dan seharusnya juga ada trasparansi public dalam menyelesaikan kasus Bank century sehingga tidak terjadi korupsi.


Sumber :

Minggu, 08 Oktober 2017

Hubungan Penulisan Ilmiah Dengan Struktur Etika

ANALISIS BIAYA VOLUME LABA SEBAGAI PERENCANAAN LABA JANGKA PENDEK PADA CV KHOMSA MULIA TEHNIK
Peranan analisis titik impas dapat digunakan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai dan meningkatkan laba jangka pendek pada CV Khomsa Mulia Tehnik.Pada tahun 2016, CV Khomsa Mulia Tehnik telah melakukan penjualan sebanyak 3 unit Mesin Strip Takho dengan total pendapatan Rp900.000.000. Untuk mendapatkan titik impas perusahaan dapat dihitung dengan rumus titik impas biasa, yaitu memperhitungkan perbandingan volume penjualan antara satu menu dan menu yang lain. Titik impas dalam unit akan tercapai dengan membagi nilai titik impas rupiah dengan total penjualan. Berdasarkan perhitungan tingkat penjualan yang harus dicapai perusahaan dimana perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian yaitu pada saat penjualan sebesar Rp 312.958.160,4 atau dengan menjual 0,3477312893 unit jika dibulatkan menjadi 1 unit.
Dan untuk menghitung margin keamanan dapat dihitung dengan total penjualan dikurangi dari hasil perhitungan Titik Impas di atas. Jadi, total penjualan sebesar Rp 900.000.000 dikurangi dengan penjualan saat impas yaitu sebesar Rp 312.958.160,4 akan menghasilkan margin keamanan sebesar Rp 587.041.839,6 dengan hasil pembulatan sebesar Rp 587.041.840 dan untuk menghitung persentase margin keamanan adalah dengan hasil margin keamanan dalam rupiah dibagi total penjualan lalu dikali 100% sehingga didapat 65,22687107% atau dengan hasil pembulatan 65%.
Dari penjelasan diatas, kesimpulan Penelitian Ilmiah saya berkaitan dengan ETIKA BISNIS karena perusahaan tersebut ingin memajukan laba perusahaannya dan untuk memperbanyak penjualan. Itu terjadi karena pimpinan perusahaan mempunyai pola pikir yang panjang untuk menjadikan perusahaannya maju.


Korelasi Etika dengan Kesimpulan PI
Adapun hubungannya adalah dikaitkan dengan ….
Etika bisnis adalah cara dimana perusahaan melakukan kegiatan bisnis yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika ini dapat membentk nilai, norma dan perilaku karyawanserta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan kerja, pemegang saham dan masyarakat.
Perusahaan CV Khomsa Mulia Tehnik meyakini bahwa pengambilan keputusan  untuk merencanakan laba yang berpengaruh dalam pendapatan perusahaan. Dengan adanya perencanaan laba kita bisa memprediksi penjualan yang akan kita jual untuk mencapai target laba yang sudah direncanakan. Dengan adanya perhitungan ekonomi yang baik, perusahaan akan semakin maju dan menghasilkan laba untuk mensejahterahkan karyawan perusahaan.
Sumber :
Penulisan Ilmiah : ANALISIS BIAYA VOLUME LABA SEBAGAI PERENCANAAN LABA JANGKA PENDEK PADA CV KHOMSA MULIA TEHNIK. PI. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2017. Hari Ramadhani

https://id.wikipedia.org/wiki/Etika

Sabtu, 01 April 2017

TASK 1 (Passive Voice)

How the US economy could suffer—bigly—under Trump's trade agenda

The Trump administration recently released a trade pronouncement that goes beyond the president's preferred 140-character format. The 2017 Trade Policy Agenda is a report, required by Congress, that highlights Administration priorities on trade.
An earlier, leaked version criticized aspects of the global trading system as "untethered from economic realities." That wonderful phrase is missing from the final report—perhaps because it's an apt description of many aspects of the Administration's trade agenda itself.
The Administration's report mentions several broadly supported objectives, including enforcing trade laws and opening markets. But, at its core, the new agenda is a fundamental departure from America's decades-long support for rules-based trade that benefits Americans and the world.
While it employs muscular language like "defending sovereignty," it actually risks weakening America's economic standing, creating uncertainty for the U.S. economy, and making it harder for American exporters and workers to seize global opportunities.
Here are four examples of the real-world risks that the administration's strategy presents:
Sovereignty. The Administration's top priority is defending "national sovereignty over trade policy." The report notes that, under longstanding—and noncontroversial—provisions of U.S. law, World Trade Organization (WTO) rulings against the United States are not self-executing and only take effect if America agrees. The report further states that the Administration "will aggressively defend American sovereignty over matters of trade policy."
But what would this mean in practice?
Perhaps it's a sop to Trump's base, many of whom harbor conspiracy theories about threats to U.S. sovereignty. On the other hand, if aggressive sovereignty becomes a key driver of U.S. trade policy, America's economy and trade could suffer—bigly.
America has the sovereign right to ignore WTO rulings. But, as the report admits, injured countries also have the right to impose WTO-permitted retaliation. This retaliation is usually in the form of broadly targeted tariffs that choke off U.S. exports and cause considerable pain to affected U.S. exporters and workers.
Moreover, sovereignty is a two-edged sword. The Administration fails to mention that America has a stellar record of winning at the WTO, particularly in using the WTO offensively to challenge unfair foreign restrictions against U.S. manufactured goods, farm products, and services, especially in China. If assertive sovereignty is the new coin of the realm in trade, however, what's to stop foreign countries from ignoring these rulings and expanding barriers to American trade?
Solutions. The Administration's trade agenda is also devoid of practical solutions to claimed challenges.
The Administration says it will negotiate "new and better trade deals." But, other than noting that it will "tend to focus on bilateral negotiations," the agenda says absolutely nothing about what these deals might contain.
Would they help American producers and workers compete globally with modern rules for digital trade, fully enforceable labor and environmental standards, provisions to boost small exporters, and restrictions on foreign state-owned enterprises—like those in the Trans-Pacific Partnership (TPP) and Trade Promotion Authority?
Or, would they slow the economy, limit trade, cost jobs, and create economic uncertainty through Trump-supported ideas like imposing crushing tariffs, limiting investment, and disrupting supply chains?
Warmed-over rhetoric won't reassure American businesses and workers who produce, trade, and invest in the real economy. They deserve specifics and smart, practical solutions. And soon.
Deficits. The Administration would make trade balances a prime metric for evaluating trade deals. The agenda highlights America's trade deficit with China—a country with no free trade agreement with the United States—while ignoring the fact that America actually runs a trade surplus with its 20 FTA partners.
More significantly, most mainstream experts believe trade balances are an exceedingly poor measure of effective trade policy. Deficits are driven by broader economic factors, and lower trade deficits coincide with economic downturns, not periods of growth. Moreover, the Administration's attempt to link deficits to lost manufacturing jobs ignores findings that these jobs were overwhelmingly lost to automation, not trade.
The Administration's obsession with trade deficits is particularly concerning in view of reports that the it's considering a discredited methodology to "cook the books" in calculating deficits and proposals to make deficits a reason for withdrawing from trade deals. These ill-considered ideas would create great uncertainty in the real American economy. The latter is especially nonsensical, since the Administration also demands "reciprocity" in trade.
Market Access. The Administration rightly notes that many barriers to American trade result when countries fail to pursue free market principles or apply transparent rules. Based on the trade agenda, however, the Administration's response to these challenges appears to be retreat—hiding behind bluster and trade protection, while ceding the writing of new trade rules to countries like China.
Trump's decision to abandon America's hard-won gains in the TPP negotiations is especially puzzling in this regard. The TPP includes hundreds of practical and enforceable provisions that would increase trade and regulatory transparency, reduce market distortions, slash tariff and non-tariff barriers to American goods and services, and even reform NAFTA. And it would apply these reforms broadly, to countries accounting for 40 percent of global trade—a near-term result that would be impossible to duplicate by starting from scratch on one-off bilateral deals.
Rather than abandoning the vital work of expanding global rules-based trade, the Administration should seek to reassert American leadership. It could begin by revisiting the TPP's many positive reforms and applying them in other key contexts, such as efforts to update and improve NAFTA.
Presidential trade agendas have historically been forward-looking, with a strong focus on the opportunities that trade presents for America. Trump's agenda, in contrast, is inward-looking and reactive. As Congress reviews the Administration's report, it should be mindful of its own Constitutional authority, both to block destructive efforts to upend longstanding arrangements like the WTO and NAFTA and to shape a positive trade agenda that provides real-world benefits for American producers and workers..